Powered By Blogger

Sabtu, 19 Februari 2011

Perang Animasi: SI UNYIL (Indonesia) vs UPIN dan IPIN (Malaysia)


Keangkuhan Malaysia semakin menjadi-jadi, mulai dari masalah TKI sampai perebutan tapal batas dan terakhir penangkapan aparat kita oleh polisi Diraja Malaysia semakin menenggelamkan harga diri kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Tapi, sebagai blogger pemula bahasan kali tak ingin merambah terlalu jauh urusan politik, cuma tergelitik untuk menggugat penjajahan dunia animasi Indonesia oleh dua kakak beradik Upin dan Ipin. Film animasi ini telah membius jutaan anak Indonesia untuk mulai mengubah gaya bahasanya menjadi berlogat bahasa negeri jiran, memakai kaos bergambar dua saudara tersebut bahkan dengan bangganya menggendong serta mengkoleksi bonekanya kesana kemari. Lalu, kemanakah film-film animasi karya anak bangsa ? tidak punya kah kita animator-animator handal untuk sekedar membuat film animasi? Jawabannya, banyak. Yah, sangat banyak. Film animasi kita bertebaran dimana-mana mulai dari si Huma sampai animasi layar lebar 3 dimensi Meraih Mimpi. Animator handal pun tak terhitung lagi jumlahnya, skill pun tak kalah dengan animator luar.

Membayangkan semua ini, memaksaku untuk mengulang memori masa kecilku sekitar awal tahun 80 an. Di tahun-tahun itu film boneka si Unyil sempat merajai pentas perfilman anak-anak Indonesia bersaing dengan film-film karya Walt Disney, film futuristik Jepang seperti Megaloman, Gogle V, Gaban/Shariban. Film boneka produksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN) ini sangat digilai oleh anak-anak pada waktu itu. Minggu pagi adalah hari wajib untuk duduk manis bersama di depan televisi demi menyaksikannya. Tak hanya film, baju-baju kaos bergambar karakter si Unyil dan kawan-kawan menjadi buruan ibu-ibu saat pergi ke pasar untuk oleh-oleh buat anak mereka. Memakai baju bergambar Unyil menjadi sesuatu yang membanggakan. Selain itu, pernak-pernik lainnya diproduksi seperti buku, sampul buku, kaset sandiwara radio semua menampilkan Unyil. Namun, kejayaan film boneka si Unyil lambat laun tergerus seiring kehadiran beberapa TV Swasta yang dengan mudah mengimpor film-film animasi berharga murah. Maka, mulai munculah tokoh animasi baru semacam Doraemon dan lain-lain meruntuhkan popularitas si Unyil.
Saat itu, alur cerita si Unyil sangat sederhana dan membumi, mengakar pada budaya Indonesia dan kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Tokoh-tokohnya lintas etnis dan dialek. Ada Pak Raden yang Jawa Tulen, Bu Bariah dari Madura, Meilan yang mewakili etnis Tionghoa, Bang Tagor etnis Batak. Inilah menjadi kekuatan film boneka tersebut.

Setelah era Si Unyil, memang banyak sekali film-film animasi diproduksi, namun tak pernah bisa menyamai kesuksesan Si Unyil era 80 an. Trans7 pun sudah berupaya menghidupkannya kembali melalui Laptop Si Unyil walaupun tak terlalu booming.

Membandingkan dengan Upin dan Ipin
Sebagaimana si Unyil, kekuatan film animasi Malaysia ini berada pada alur cerita yang mudah dicerna dan sederhana serta gambar animasi modern yang hidup, durasi yang tak terlalu panjang (lebih kurang 7 menit). Faktor lain adalah kedekatan budaya Indonesia – Malaysia yang satu rumpun Melayu. Jadi, tak terlalu sulit menikmati film ini karena didukung bahasa yang beda-beda tipis. Padahal film ini baru dirilis di Malaysia tahun 2007 guna mendidik anak-anak untuk menghayati bulan Ramadhan. Kini popularitasnya sudah melintas batas negara. Di Indonesia hadir di TPI, walau diputar berulang-ulang tetap memikat hati anak-anak Indonesia. Di Turki, Upin dan Ipin disiarkan di Hilal TV.

Saya mempunyai harapan, para animator Indonesia dapat mengangkat dan melahirkan kembali film boneka ini menjadi sebuah film Animasi modern dengan cerita sederhana, menarik dan mudah dipahami. Hingga dapat kembali merebut hati anak-anak Indonesia bahkan bisa mengambil kembali singgasana film animasi yang beberapa lama diduduki oleh film animasi mancanegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar